Uncategorized

“ Mahasiswa Murah : 2014”

Posted on


Gambar

Tahun 2014 adalah kado spesial tersendiri untuk bangsa Indonesia, tahun dimana sebuah harapan akan dipangkukan dari kordinat ini, entah sebuah kemajuan atau berbuah-buah kemrosotan sedikit banyak akan dipengaruhi oleh momen tersebut. Itu semua tergantung seluruh komponen civil society berani atau tidak untuk bertindak jujur tehadap bangsa ini.

Berduyun-duyunnya para caleg untuk mendapatkan kursi “empuk” di dewan seolah menggelapkan kaca mata mereka dalam memandang demokrasi. Calon-calonya gelap mata bagaiman dia bias menang, kalau masyarakat dapat dibius dengan tenang oleh uang yang hanya mampu menjamin hidup mereka kurang dari seminggu, ternyata mahasiswa pun bias bius juga, akan tetapi tidak serta merta sama penyakit yang di deritanya tentunya lebih keren dan elegan. Dengan berkedok professional yaitu lembaga survey yang menjamur akhir-akhir ini, ternyata itu adalah obat bius yang khas untuk mahasiswa. Survey yang digunakan mengukur elektabilitas calon (legislatif/presiden) ternyata sedikit banyak menyedot tenaga mahasiswa dalam pelaksanaannya. Sebagai sebuah kerja sampingan untuk mendapatkan sekocek uang, menjadi faktor penyebab perilaku tersebut diambil poleh mahasiswa, selain itu juga penggunaan jasa mahasiswa pun lebih menguntungkan pihak-pihak yang berkaitan karena “jasanya lebih murah”. Bukan kemudian tindakan tersebut diklaim salah, akan tetapi realita sampai detik ini menjangkitkan virus-virus gagap sehingga tidak ada teriakan-teriakan yang lantang dari mahasiswa sebagai bentuk kritik akan berlangsungnya “gawe” pemilu tersebut. Sebagai salah satu contoh yaitu adanya aliran dana uang saksi partai yang diambil dari APBN pada pemilu tahun 2014 ini lolos dari jamahan mahasiswa. Bius-bius pun mulai disuntikkan agar gaung mahasiswa pun kian hari kian menciut.

Frame mahasiswa dulu misal, pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan ’66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, Angkatan ’66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).  Peran mahasiswa menonjol lagi pada waktu gerakan 1998, ketika penumbangan orde baru atas bentuk rezim soeharto, dimana terjadi “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme), dengan adanya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang berasal dari seluruh pelosok negeri bersatu-padu berkumpul di gedung DPR/MPR untuk menuntut terjadinya reformasi.

Sepi dan lesunya atmosfir gerakan mahasiswa, pun memang benar-benar menjadi demam akut yang diderita oleh mahasiswa. Berlangsungnya pergeseran institusional yang diawali dengan transisi wakil-wakil rakyat dan disusul dengan transisi kepemimpinan Negara, seharusnya menjadi cerminan bangsa ini untuk kembali melihat berapa benar kemerdekaan ini tertancap dalam ubun-ubun tanah air setelah 68 tahun kita mengumandangkan kemerdekaan. Harapan baru selalu terselip pada nuansa serba “anyar” akan tetapi akankah tetap terselip dalam saku-saku kemeja semata. Harapan inilah yang harus di-inisiasi oleh mahasiswa hari ini entah itu reformasi, revolusi atau rekonstruksi. Asalkan mahasiswa tidak diam saja ketika mendapat label baru “Mau Murah Pake Jasa Mahasiswa”.